BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kalau
kita mengikuti awal pertumbuhannya, kawasan Menteng sejak dulu dikenal
sebagai salah satu area perumahan elite, merupakan rangkaian perjalanan
yang berhulu dari kota lama Belanda: the old city of Jakarta (dulu Batavia),, yaitu kota di pesisir utara Jakarta yang dibangun Belanda sejak awal kehadiran mereka di Jakarta.
Menteng
dulunya merupakan perumahan villa pertama di kota Jakarta yang
dikembangkan antara tahun 1910 dan 1918. Perancangnya adalah tim arsitek
yang dipimpin oleh P.A.J. Mooijen, seorang arsitek Belanda yang
merupakan anggota tim pengembang yang dibentuk pemerintah kota Batavia.
Rancangan awalnya memiliki kemiripan dengan model kota taman dari
Ebenezer Howard, seorang arsitektur pembaharu asal Inggris. Bedanya,
Menteng tidak dimaksudkan berdiri sendiri namun terintegrasi dengan
suburban lainnya. Thomas Karsten, seorang pakar tata lingkungan
semasanya, memberi komentar bahwa Menteng memenuhi semua kebutuhan
perumahan untuk kehidupan yang layak.
Proyek
Menteng dinamakan Nieuw Gondangdia dan menempati lahan seluas 73 ha.
Pada tahun 1890 kawasan ini dimiliki oleh 3.562 pemilik tanah. Batas
selatannya adalah Banjir Kanal Barat yang selesai dibangun 1919.
Rancangan Mooijen dimodifikasi oleh F.J. Kubatz dengan mengubah tata
jalan dan penambahan taman-taman hingga mencapai bentuk yang tetap
antara 1920an dan 1930an.
Sebagai
kota taman, di kawasan ini banyak dijumpai taman-taman terbuka. Yang
terbesar adalah Taman Suropati, yang terletak di antara Jalan Imam
Bonjol dan Jalan Diponegoro. Kemudian terdapat Taman Lawang yang
terletak di Jalan Sumenep, Situ Lembang di Jalan Lembang, serta Taman
Cut Meutia di Jalan Cut Meutia. Di kawasan ini dulu pernah berdiri
Stadion Menteng, yang kini telah beralih fungsi menjadi Taman Menteng.
1.2 Sejarah Kawasan Menteng
Pertumbuhan
Menteng pada awal abad 20 kelak adalah akibat keterbatasan kota lama
memenuhi dinamika masyarakatnya. Kota lama (sansekerta, dapat berarti fortified place)
ini dibangun di dalam tembok keliling yang berfungsi sebagai benteng
pertahanan. Dan sebagaimana layaknya sebuah kota, kota lama ini juga
dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk perumahan. Hanya saja
bentuk perumahannya tidak seperti yang kita lihat sekarang. Pejabat
tinggi dan orang penting saja yang menempati rumah tunggal /detached house. Selebihnya tinggal dalam barak atau semacam bachelor’s house (saat
itu ada larangan untuk membawa istri dan keluarga, atau ada kebiasaan
pedagang yang tidak membawa keluarga selama berniaga). Orang-orang Cina
juga banyak yang tinggal di dalam kota lama, bekerja untuk Belanda atau
berdagang, sedangkan di luar tembok adalah pemukiman penduduk asli
ditambah beberapa ras lain seperti Portugis dan Arab.
Sekitar
tahun 1750 gubernur jenderal Mossel mengembangkan Weltevreden (lapangan
Banteng) dan mendirikan kediamannya yang besar di tempat RS Gatot
Subroto sekarang berada. Halamannya sangat luas sampai ke Senen,
dilengkapi danau buatan, gerombolan kijang dan kebun buah-buahan. Puncak
perkembangan Weltevreden terjadi pada masa pemerintahan gubernur
jenderal Daendels. Sekitar tahun 1828 ia memerintahkan pemindahan
besar-besaran gedung-gedung pemerintahan dari kota lama ke Weltevreden.
Situasi ini menunjukkan bahwa daerah selatan, atau Jakarta pusat
sekarang, dianggap aman. Gedung pemerintahan makin banyak dibangun di
daerah ini dan mendorong tumbuhnya perumahan disekitarnya.
Tahun-tahun
pertengahan abad 19 sampai awal abad 20 merupakan masa stabil
pemerintahan Belanda di Jakarta. Pusat kota bergeser dari kota lama ke
selatan. Weltevreden berkembang. Gambir menjadi taman hiburan yang
terkenal dengan Pasar Gambir. Jaringan jalan dibuat dan vila-vila baru
dibangun. Daerah selatan menjadi terbuka untuk pemukiman.
Menteng
baru berkembang pada awal abad 20, sejalan dengan stabilitas dan
kebutuhan perumahan orang-orang Belanda pada saat itu. PAJ Moojen
(1879-1955), arsitek Belanda yang belajar di Belgia, datang ke Indonesia
pada tahun 1903, mendirikan Kunstkring dan kemudian menjadi anggota
Dewan Kotapraja dan Kondangdia-commissie.
Bersama komisi ini ia mulai merancang Menteng pada tahun 1911.
Rancangan Moojen yang radial kemudian dianggap kurang praktis sehingga
pada tahun 1918 Ir. FJ Kubatz mendapat tugas untuk menyempurnakannya.
Arsitek lain, FJL Ghijsels, sejak tahun itu juga ikut merancang Menteng
termasuk sejumlah besar rumah-rumahnya.
Menteng
berkembang bersama Gondangdia. Keduanya memang dikembangkan untuk
kalangan berada orang Belanda. Pemerintah kota membeli tanah dari tuan
tanah kemudian merencanakan dan membangun jaringan jalan dan vila-vila.
Untuk kepentingan ini dibentuk De Bouwploeg (“kelompok membangun”,
sekarang disebut Boplo) dengan tujuan memberikan jasa bagi orang-orang
kaya Belanda yang ingin memiliki rumah mewah di Menteng atau Gondangdia.
De Bouwploeg mempunyai kantor sendiri yang sekarang menjadi masjid Cut
Meutia. Saat itu kantor ini belum menggunakan atap kubah seperti
sekarang. Orientasinya dulu menghadap ke arah Gondangdia (jalan Cut
Meutia sekarang) yang lebar dengan vila-vila di kedua sisi jalan.
Rancangan kawasan ini barangkali sesuai dengan aksesibiltas Menteng yang
dulu datang dari Weltevreden dan Koningsplein (Medan Merdeka/Gambir).
Di area ini selain gedung Bouwploeg berdiri juga Gedung Kunstkring (eks
Gedung Imigrasi) yang dapat dianggap sebagai landmark dan tanda memasuki kawasan Menteng.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, Menteng menjadi daerah elite di Jakarta. Banyak
tokoh-tokoh penting dan konglomerat ternama tinggal di wilayah tersebut,
termasuk tokoh proklamator Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta.
Selain kedua tokoh tersebut, yang berdomisili disini adalah Soeharto,
Mohammad Natsir, A.H Nasution, Ali Sadikin, Rosihan Anwar, Subandrio,
Kemal Idris, dan Soedarpo Sastrosatomo. Menteng juga menjadi tempat
tinggal masa kanak-kanak Presiden Amerika Serikat ke-44, Barack Obama.
Beliau pun pernah menuntut ilmu di sekolah-sekolah lokal yakni SDN
Besuki dan SD Santo Fransiskus Assisi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Bab ini secara umum menjelaskan mengenai definisi Pelestarian, bentuk-bentuk pelestarian, objek pelestarian, definisi wisata budaya, definisi Persepsi masyarakat, Konsep-konsep Pengembangan Kawasan Urban, dan Contoh Pelestarian Kawasan Kota Lama.
2.1 Definisi dan Bentuk-Bentuk Pelestarian/Konservasi
Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yang dikenal dengan Burra Charter.
Bentuk-bentuk dari kegiatan konservasi antara lain :
1. Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan
fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan- tambahan atau merakit kembali komponen eksisting menggunakan material baru.
2. Restorasi (dalam konteks terbatas) ialah kegiatan pemugaran untuk
mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).
3. Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik
suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan.
4. Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan
pemeliharaan yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
5. Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu
tempat hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan
mungkin (karena kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi,
rekonstruksi, konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.
6. Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya
perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
7. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan
memperbaiki
seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana
alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah
lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan
yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
8. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan
memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi dan bangunan tetap layak fungsi. Konsolidasi
bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian
struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.
9. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai
tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan
kota lama untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah
karena kawasan tersebut mengalami penurunan produktivitas. (Ref.
UNESCO.PP. 36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan).
10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan
gedung dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan teknis. (Ref. PP.36/2005). Kegiatan pemulihan arsitektur bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.
Sangat menarik untuk menanyakan mereka yang melihat suatu perbedaan apakah mereka
akan menganggapnya pariwisata dalam Lapland, di Eropa seperti
pariwisata etnim atau pariwisata budaya. Pertanyaan yang sama dapat
dipertanyakan tentang kota pariwisata/township tourism termasuk kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah masyarakat Afrika yang miskin dan pada saat yang sama pemahaman tentang masyarakat
kulit hitam kelas menengah yang tinggal di kota (Lihat Briedenhann dan
Ramchanders) merupakan studi kasus tentunya tidak ada grup etnik
tertentu yang dapat direpresentasikan sebagai istilah etnik.
Presentasinya cenderung pada esensialisasi sebagai entitas homogenius yang ditandai dengan
perbedaan dengan karakteristik yang mudah diketahui (Cohen, 2001: 28).
Cohen (2001) menyatakan bahwa telah terjadi evolusi pariwisata etnis,
dimana para wisatawan merupakan agen aktif namun masyarakat mencapai
hanya satu tingkat pemberdayaan karena hanya mendapat sedikit reward finansial melalui penjualan dari barang-barang kerajinan. Dia selanjutnya menyarankan bahwa untuk pembangunan pariwisata, beberapa penduduk harus dapat mengakumulasikan modal serta mengetahui selera wisatawan sehingga dapat meningkatkan pengeluaran wisatawan. Performance hospitality dan hasil kerajinan menjadi komoditas yang diorientasikan untuk wisatawan atau orang-orang luar.
.
2.3 Persepsi Masyarakat
2.3.1 Pengertian Persepsi Masyarakat
Seorang pakar organisasi bernama Robbins (2001:88) mengungkapkan bahwa Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada
lingkungan mereka. Sejalan dari defenisi diatas, seorang ahli yang
bernama Thoha (1998:23) , mengungkapkan bahwa persepsi pada hakekatnya
adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan maupun pendengaran. Wirawan (1995:77), menjelaskan bahwa proses pandangan merupakan hasil hubungan antar manusia dengan
lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang
dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap,
intelegensi, dimana hasil atau penelitian terhadap apa yang diinderakan akan Mempengaruhi tingkah laku.
Defenisi persepsi juga diartikan oleh Indrawijaya (2000:45), sebagai suatu penerimaan yang baik atau pengambilan inisiatif dari proses komunikasi. Lebih lanjut adalah
pendapat yang dikemukakan oleh Ralph Linton dalam Harsojo (1997:144)
menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah
cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu dapat
mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Robbins (2001:89) mengemukakan bahwasanya ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat yaitu :
1. Pelaku persepsi, bila seseorang memandang suatu objek dan mencoba menafsirkan
apa yang dilihatnya dan penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu
2. Target atau objek, karakteristik-karakteristik dan target yang diamati dapat
mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Target tidak dipandang dalam keadaan terisolasi, hubungan suatu target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi seperti kecendrungan kita untuk mengelompokkan benda-benda yang berdekatan atau yang mirip
3. Situasi, dalam hal ini penting untuk melihat konteks objek atau peristiwa sebab unsur-unsur lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita.
2.4 Definisi perancangan kota dan elemen-elemen rancang kota
Rancang kota atau urban design merupakan bidang disiplin ilmu yang kompleks yang mencangkup banyak hal seperti disiplin ilmu arsitektur, lanskap, perencanaan perkotaan,
teknik sipil dan transportasi, psikologi atau banyak hal lainnya.
Rancang kota menyangkut manajemen suatu pembangunan fisik dari kota.
Pembatasan dari pengertiannya ditekankan pada suatu bentuk fisik berupa tempat (place) yang merupakan suatu ruang olah manusia yang dianggap mempunyai makna. rancang kota menitik beratkan pada hubungan elemen fisik kota sebagai suatu bentuk jaringan yang tidak dapat berdiri sendiri. Sifat rancang kota mengarahkan, membatasi masyarakat
sebagai pemakai ruang kota dengan memberikan ruang hidup yang lebih
baik. elemen-elemen rancang kota didasarkan menurut Hamid Shirvani
(1985) dalam Urban Design Proccess yang membagi elemen perancangan fisik perkotaan menjadi delapan kategori yaitu:
2.4.1 Peruntukan Lahan (Land Use)
Land use atau peruntukan lahan merupakan suatu bentuk penerapan rencana-rencana
dasar
dua dimensi ke dalam pembuatan ruang tiga demensi dan penyelenggaraan
fungsi ruang tersebut.Peruntukan lahan mempertimbangkan tujuan dan
prinsip yang akan dicapai pada guna tertentu seperti guna hunian,
komersil, rekrasional, industri dan sebagainya. Mempertimbangkan kondisi
daya dukung alam terhadap kapasitas kegiatan yang ditampung, kondisi
ini juga berkaitan dengan pemakaian lantai dasar bangunan dan kofisien lantai bangunan. Keberadaan komunitas sekitar juga mempengaruhi
pertimbangan tata guna lahan, dampak yang terjadi baik secara fisik
maupun secara sosial. Pertimbangan penentuan peruntukan lahan tersebut
sangatlah penting dan sensitif , karena menyangkut keberlangsungan daya
dukung kehidupan pada suatu kota yang berhubungan baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan alam atau ekologi.
Menurut Shirvani (1985) permasalahan utama dari kebijakan land use adalah pertama, kurangnya keragaman guna di suatu area dengan kata lain pemisahan peruntukan
lahan di wilayah perkotaan. Kedua , Salah dalam menyadari keberadaan
faktor fisik dari lingkungan hidup dan alam dan terakhir infrastruktur.
Kebijakan peruntukan lahan suatu kota tak terlepas dengan keberadaan dan perencanaan infrastruktur
dan hubungannya dengan kota lain. Permasalahan yang timbul dalam
kebijakan tersebut saat ini adalah dengan adanya penyebaran yang tidak
tertata dari fungsi lahan yang disebut juga sprawl. Dengan adanya akses jalan raya seperti tol atau
arteri, yang menghubungkan pusat kota dengan daerah sekitar dan adanya
kecenderungan pemilikan kendaraan bermotor yang tinggi mempercepat
proses sprawl tersebut.
Urban sprawl mengakibatkan timbulnya masalah sosial seperti perbedaan kontras
terhadap pengelompokan tempat tinggal berdasarkan pendapatan, kurangnya interaksi sosial, permasalahan pencemaran lingkungan, hilangnya ruang terbuka atau lahan pertanian dan penghijauan, maupun timbulnya ruang-ruang kosong perkotaan. Dalam
Charter of the New Urbanism (2000) memandang permasalahan urban sprawl harus melihat dalam konteks dari skala metropolitan, dengan adanya hubungan pusat kota dan daerah pinggir kota, sampai pada lingkungan terkecil yaitu lingkungan neighborhood dan blok. Dengan konteks tersebut, kebijakan peruntukan lahan memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya permasalahan urban sprawl disamping hubungannya dengan elemen sirkulasi dan faktor sosial ekonomi masyarakat kota itu sendiri.
Menurut Roger Trancik (1986) kebijakan peruntukan yang tidak hati-hati seperti pemisahan
peruntukan lahan kepada fungsi tersendiri, menggantikan kepadatan
horzontal ke vertikal, dan pemisahan fungsi ruang tempat tinggal dengan
tempat bekerja mempengaruhi terbentuknya'ruang yang hilang' atau lost space. Lost space menciptakan jurang pemisah sosial, pengelompokan pemukiman menjadi suatu kantong pemukiman atau enclave, menghilangkan keberlangsungan pejalan kaki, dan juga berkaitan dengan permasalahan sprawl.
Dari kebijakan peruntukan lahan juga dapat menimbulkan permasalahan 'pod development' atau semacam pembangunan yang berdiri sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Ford (2000) bahwa di dalam pod development, setiap peruntukan seperti shopping mall, outlet siap saji, taman perkantoran, apartemen, hotel, kelompok-kelompok perumahan, dsb. Disusun sebagai elemen terpisah, dikelilingi oleh ruang parkir dan biasanya memiliki akses masuk sendiri
dari jalan kolektor atau jalan distribusi utama. Idenya adalah
memisahkan atau mendindingi peruntukan lahan pada lingkungan sosial dan
fungsional yang tersendiri. Bentuk pod development juga menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan urban sprawl maupun terbentuknya ruang-ruang yang hilang atau lost space.
Kebijakan peruntukan lahan yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai permasalah seperti yang tersebut diatas, terutama kebijakan pemisahan peruntukan lahan yang berdiri sendiri. Pendekatan penyelesaian permasalahan tersebut dari elemen peruntukan lahan adalah perdekatan terhadap peruntukan lahan campuran atau yang disebut sebagai mixed use. Pada saat ini peruntukan lahan dua dimensi dijabarkan ke dalam ruang yang tidak terbatas pada peruntukan lantai dasar tetapi juga kepada peruntukan vertikalnya sehingga memunculkan suatu bentuk peruntukan campuran (mixed use). Peruntukan campuran merupakan penerapan yang menentukan
hubungan antara fungsi-fungsi kegiatan yang saling mendukung pada suatu
lokasi peruntukan. Peruntukan campuran di area perkotaan mempunyai arti lebih karena sangat besar hubungan dengan pemanfaatan intensitas lahan yang semakin terbatas, kebutuhan keragaman kegiatan pada satu lokasi, efisiensi energi dengan mempersingkat perjalanan, faktor ekonomi maupun faktor sosial yang mampu memberikan suasana yang lebih hidup, menarik, bergairah dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat untuk berinteraksi.
Menurut Shirvani (1985) percampuran kegunaan adalah kunci permasalahan dalam pengambilan kebijakan peruntukan lahan. Kegiatan 24 jam dengan perbaikan sirkulasi melalui fasilitas-fasilitas pejalan kaki, penggunaan yang lebih baik dari sistem infrastruktur, analisis yang berdasarkan lingkungan hidup alami dan perbaikan-perbaikan infrastruktur mendukung fungsi peruntukan campuran. Kegiatan pada
tingkat jalur pejalan kaki dalam peruntukan campuran memegang peranan
penting, ia dapat menciptakan ruang yang lebih manusiawi, menyenangkan
dan ramah lingkungan. Akan tetapi peruntukan campuran tidak akan berhasil pada tingkat konsentrasi kegiatan jalur pejalan kaki apabila tidak didukung oleh tata massa dan bangunan yang mendukung hal tersebut. Pola massa urban perimeter block atau pola bangunan
yang menempatkan muka lantai dasar menempel dengan garis jalan lebih
mendukung kegiatan jalur pejalan kaki dibanding pola free standing building atau bangunan tinggi yang berdiri di ruang terbuka.
2.4.2 Tata Massa dan Bentuk Bangunan (Building Form and Massing)
Bentuk dan tata massa bangunan pada awalnya menyangkut aspek-aspek bentuk fisik oleh rona spesifik atas ketinggian, pengaturan muka bangunan (setback) dan penutupan (coverage). Kemudian lebih luas menyangkut masalah penampilan dan konfigurasi bangunan. Disamping ketinggian dan kepejalan, penampilan (appearence) dipengaruhi oleh warna, material, tekstur dan fasade, style, skala, dsb. Spreiregen
(1965) menyatakan isu-isu kritis yang berhubungan dengan bentuk
bangunan dan massa. Pertama adalah 'skala', yang berhubungan aspek
visual manusia (human vision), sirkulasi, bangunan pada lingkungan tempat tinggal dan ukuran lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya adalah ruang perkotaan sebagai sebuah elemen utama dari rancang kota dan pentingnya penekanan pada bentuk, skala dan rasa keterlingkupan (sense of enclosure) dan jenis-jenis dari ruang perkotaan. Dan yang terakhir adalah urban mass atau massa perkotaan yang termasuk bangunan- bangunan, permukaan tanah, dan segala objek yang disusun untuk membentuk ruang perkotaan dan membentuk pola-pola kegiatan.
Peruntukan lahan juga berperan dalam pengaturan tata massa dan bentuk bangunan seperti penerapan pada peruntukan campuran pusat kota yang diarahkan pada ketinggian yang lebih dari peruntukan lainnya. Peruntukan lahan komersil atau retail pada lantai dasar menjadi pertimbangan pengaturan pemunduran bangunan yang diletakan pada garis kavling atau zero setback untuk mendekatkan dengan kegiatan alur pejalan kaki.
Peletakan tersebut dapat memberikan keuntungan pada kedua sisi, memudahkan pengenalan
produk retail dan memudahkan pencapaian transaksi dari fungsi retail
pada bangunan kepada pejalan kaki dan memberikan keberlangsungan pejalan
kaki dalam pergerakan dan mampu menarik perhatian pejalan kaki untuk
berbelanja pada fungsi tersebut. Aspek visual disamping pengaturan
pemunduran lantai bawah juga dicapai dengan pengaturan pemunduran lantai
atasnya dimana arah pencahayaan alami menjadi aspek yang sangat penting dalam aspek visual tersebut. Kesan harmonis dan tidak monoton (diverse) dicapai dengan pengaturan muka bangunan (façade) dengan pewarnaan, tekstur, keseimbangan lebar muka bangunan terhadap lebar jalan, gaya (style),
dan ketinggian. Ketegasan tepi bangunan dan vista koridor jalan juga
dapat dibentuk dengan pengaturan massa bangunan, setback, ketinggian sehingga ruang jalan memberikan arahan dan kenyaman pengguna jalan. Konfigurasi bangunan sangat mempengaruhi kualitas visual dan berhubungan erat dengan elemen sirkulasi yaitu jalan dan elemen ruang terbuka. Keterlingkupan (enclosure) dapat dibentuk dari konfigurasi bangunan tersebut. Roger Trancik (1986) menekankan keterlingkupan berdasarkan bangunan arsitektural sebagai 'ruang keras' atau hard space. Carmona, et al. (2000) memaparkan keterlingkupan merupakan ruang positif , ruang luar memiliki bentuk yang pasti, tersendiri. Bentuknya yang paling penting adalah keberadaan bangunan yang memilikinya. Keterlingkupan yang di bentuk oleh tata bangunan memiliki skala yang dapat dirasakan secara visual oleh manusia.
Gari Robinette (1972) menyatakan, keterlingkupan penuh didapat ketika dinding bangunan yang mengelilingi menciptakan perbandingan 1:1 atau mengisi 45 derajat sudut
pandang kerucut. Ambang keterlingkupan terjadi pada perbandingan 2:1
antara jarak ruang terbuka horizontal dengan ketinggian dinding
bangunan. Keterlingkupan minim
didapat dari perbandingan 3:1 dan hilangnya keterlingkupan terjadi pada
perbandingan 4:1 atau lebih besar. Yosinobu Ashihara (1981)
menghubungkan keterlingkupan
dengan pengaruhnya terhadap keguanaan dan efek perasaan manusia. Kesan
intim dapat dirasakan pada jarak ke perbandingan ketinggian bangunan
antara 1 sampai 3. Dan perbandingan 6:1 atau lebih menciptakan ruang umum atau public. Untuk perbandingan yang dianggap ideal dari keterlingkupan ini adalah perbandingan antara jarak ke ketinggian bangunan 2:1. pada perbandingan ini sisi atas dinding bangunan masih terlihat pada sudut 27 derajat diatas bidang horizontal mata manusia.
Tapi dari skala nilai perbandingan keterlingkupan ini yang harus diperhatikan adalah jarak maksimal yang masih dapat dirasakan. Karena walau nilai perbandingan dianggap
ideal tetapi jarak horizontal antar bangunan sangat jauh, kesan humanis
tetap akan hilang. Kemudahan pengenalan dengan penekanan pada landmark ruang
kota tidak hanya dicapai dengan bentuk simbolis pada ruang terbuka umum
seperti tugu, monumen, dsb. Tapi dapat diolah melalui konfigurasi
penataan ini. Penekanan pengaturan pada simpul jalan (node) merupakan salah satu bentuk kemudahan pengenalan (legibility) tersebut. Keseluruhan konfigurasi dan penampilan tata massa dan bentuk bangunan juga dapat diarahkan pada tema daerah yang akan dicapai tercapai kualitas citra (image) district seperti pada tulisan Kevin Lynch dalam Image of the City.
Pengaturan ini juga berhubungan dengan aspek cuaca (climate) yang berbeda-beda pada
suatu tempat tertentu. Seperti pada kondisi iklim tropis, pengaturan
massa bangunan dan bentuk jalan diarahkan pada bentuk grid yang menerus
dan tidak memecah sirkulasi penghawaan, menghidari ruang coutyard yang tidak memiliki bukaan ventilasi menyilang (cross ventilation) dan peragaman ketinggian bangunan pada blok untuk dapat memberikan aliran udara yang menyeluruh. Penyinaran yang besar yang berpengaruh pada kenyamanan pejalan kaki membutuhkan bentuk perlindungan
yang salah satunya dapat dicapai dengan pengaturan setback lantai dasar
fungsi komersil pada ruang umum dengan membentuk arcade atau collonade sepanjang fungsi ruang tersebut.
Aspek visual memegang peranan penting pada pembentukan ruang kota yang dapat dicapai dari tata massa dan bentuk bangunannya disamping faktor kegiatan dan faktor iklim setempat. Bentuk bangunan dan tata massa tidak terlepas dengan hubungannya terhadap elemen lain dari rancang kota tersebut. Sehingga keterpaduan hubungan antar elemen dan faktor non fisik menjadi pertimbangan yang penting dalam mencapai kualitas perancangan fisik kota melalui elemen tata massa dan bentuk bangunannya.
2.4.3 Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)
Sirkulasi merupakan bagian terpenting dari elemen rancang kota. Ia dapat membentuk mengarahkan dan mengontrol pola-pola kegiatan dan pola-pola pembangunan di dalam kota, sebagaimana sistem transportasi dari jalan-jalan umum, jalur-jalur pejalan kaki dan sistem transit menghubungkan dan mengutamakan pada pergerakan. Sirkulasi juga dapat menjadi suatu prinsip yang menstrukturkan, menegaskan dan memberikan karakteristik pada bentuk-bentuk fisik perkotaan seperti pembedaan suatu daerah, kegiatan suatu tempat, dsb.
Dalam rancang kota jenis alur sirkulasi menekankan pada bentuk street yang membedakan dengan bentuk road. Pengertian road adalah alur sirkulasi kendaraan bermotor. Sedangkan pengertian street dalam Public Place-Urban Space (Carmona, 2003) dan menurut Roger Trancik (1986) adalah suatu bentu alur sirkulasi yang memfasilitasi pemisahan pergerakan kendaraan dan pejalan kaki . Dari fungsi yang ada tidak sekedar sebagai alur pergerakan tetapi sebagai tempat kegiatan sosial maupun pemegang peranan penting dalam aspek visual suatu kota. Dengan demikian, alur
sirkulasi yang memegang peranan penting dalam rancang kota adalah yang
memiliki pengertian tersebut. Jalan sebagai bentuk sirkulasi memegang
peranan penting dalam suatu kota, pertama orang mengenali suatu kota
melalui jalannya, ketika orang ingin mencari suatu tempat di suatu kota, jalan merupakan hal pertama yang di pelajarinya, seperti ditulis oleh Jane Jacob (1961): 'Pikirkan suatu kota, dan apa yang terlintas di dalam pikiran? Itu adalah jalan-jalannya. Apabila jalan suatu kota terlihat penting, maka kota tersebut menjadi penting dan apabila ia terlihat gersang maka kota tersebut menjadi gersang.
Rancang kota tak terlepas dengan aspek visual sehingga pengolahan jalan sebagai alur
sirkulasi haruslah menjadi elemen ruang terbuka visual yang positif
dimana elemen-elemen fisik di ruang jalan tersebut haruslah terintegrasi
dengan baik, membentuk
ruang visual yang dapat dinikmati pengguna jalan. Seperti pengaturan
tata bangunan dan massa, treatment pola hijau, pengaturan tempat atau
lahan parkir, tata informasi (signage), elemen street furniture, dsb. Dari aspek visual tersebut banyak hal yang dapat dicapai melalui pengolahan jalan seperti pemberian sifat legibility atau pengenalan suatu tempat atau daerah, adanya ruang yang memberikan kesan humanis dengan skala manusia, sifat menerus (continuity), meningkatkan aspek estetika, menghilangkan sifat monoton yang menimbulkan kejenuhan dalam pergerakan seperti pengaturan tata letak lahan parkir yang dapat menimbulkan kekosongan ruang visual jalan, dsb.
Hirarki jalan juga menentukan dalam rancang kota. Ia menentukan zoning ruang umum (public) dan ruang pribadi (privat), menentukan tingkat kecepatan pergerakan, penghubung ruang-ruang umum utama dan penempatan transit point dan moda Selain jalan, parkir merupakan tempat yang sangat berhubungan dengan elemen sirkulasi. Shirvani (1985) menyatakan pada saat ini tujuan yang ingin dicapai pada perancangan
alur sirkulasi meliputi perbaikan mobilitas pada CBD, menghindari
penggunaan kendaraan pribadi, menganjurkan penggunana transportasi umum
dan perbaikan akses ke pusat bisnis terpadu (CBD). Permasalahan
sirkulasi pada ruang kota pada saat ini tak terlepas dengan meningkatnya
kebutuhan kendaraan bermotor dan kebijakan peruntukan seperti yang
telah disebutkan pada penjelasan mengenai peruntukan lahan diatas. Permasalahan yang terjadi dari perancangan sirkulasi antara lain timbulnya pemisahan ruang kota dan kegiatannya akibat adanya jalan bebas hambatan atau jalan dengan kapasitas pergerakan yang tinggi. Ketiadaan penyediaan alur sirkulasi pada jenis pergerakan tertentu juga menimbulkan konflik pada pergerakan lain. Minimnya kontrol terhadap penyalahgunaan fungsi alur pergerakan pejalan kaki menjadi fungsi lain sehingga menimbulkan ketidak nyamanan dan ketidak amanan pada pejalan kaki itu sendiri maupun pada pengguna alur sirkulasi yang lain.
Kebutuhan luas tempat parkir tak terlepas dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor
dan kondisi fasilitas angkutan umum kota. Keberadaan parkir itu sendiri
saat ini juga tak terlepas dari kegiatan komersial pusat kota dimana
mobil sebagai simbol gaya hidup kota terutama golongan menegah ke atas tak terlepas dari hubungannya dengan gaya hidup konsumtif yang mengarah pada akses ke lokasi perbelanjaan yang memfasilitasinya.
Keberadaan parkir dapat bersifat positif yaitu memfasilitasi pengguna mobil dan mengaktifkan tempat perbelanjaan pusat kota dan dapat bersifat negatif secara visual dengan memberikan ruang pada bahu jalan dapat mengurangi kecepatan kendaraan bermotor dan menambah keamanan bagi pedestrian.
Pengolahan ruang parkir tak terlepas dengan elemen-elemen lain dalam rancang kota. Seperti pengaturan peruntukan campuran pada bangunan parkir dimana lantai bawah sepanjang jalur pedestrian (sidewalks) bangunan parkir digunakan sebagai fungsi retail yang dapat memberikan keberlangsungan pengguna jalur pedestrian atau penggabungan ruang parkir antara fungsi suatu tempat kegiatan dan waktu kegiatan yang berbeda. Juga penempatan lahan parkir dapat diatur pada ruang-ruang di belakang bangunan komersial yang menempel pada jalan sehingga koridor jalan tidak terputus dengan lahan parkir.
Kencenderungan perancangan lahan parkir saat ini pada pusat perbelanjaan di kota Jakarta salah satunya adalah penempatanya pada lantai atas bangunan komersial tersebut sehingga mengarahkan pengunjung untuk melewati fungsi kegiatan perbelanjaan pada setiap lantai di bawahnya. Akan tetapi sebagian besar penempatan lahan
parkir pada fungsi retail maupun perkantoran di kota Jakarta selain
pada basement juga menggunakan ruang terbuka hasil dari peraturan pemda
terhadap ketentuan KDB dan GSB (setback). Dengan kondisi ini ruang kota yang dibentuk masih didominasi oleh ruang parkir, sehingga kualitas kota yang dibentuk tidak maksimal.
2.4.4 Ruang Terbuka (Open Space)
Menurut Shirvani (1985) ruang terbuka ditegaskan dalam arti semua landscape, hardscape
(jalan, jalur pejalan kaki, dan sebebagainya), taman maupun ruang-ruang
rekreasi di dalam ruang perkotaan. Kantong-kantong kosong sebagai
lubang yang besar dalam ruang perkotaan tidak dikategorikan dalam ruang
terbuka. Disini ruang terbuka yang dimaksud tidak hanya sebagai sekedar area kosong tetapi lebih ditekankan pada nilai yang dimilikinya. Ruang terbuka umum/publik menurut Rustam Hakim (1987) adalah bentuk dasar dari ruang terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh publik (setiap orang) dan memberikan bermacam-macam kegiatan.
Sebagai civic space, ruang terbuka publik memiliki arti suatu ruang luar yang terjadi dengan membatasi alam dan komponen-komponennya (bangunan) mengunakan elemen
keras seperti pedestrian, jalan, plasa, pagar beton dan sebagainya;
maupun elemen lunak seperti tanaman dan air sebagai unsur pelembut dalam
lansekap dan merupakan wadah aktifitas masyarakat yang berbudaya dalam kehidupan kota.
Fungsi ruang terbuka dapat dijabarkan sebagai berikut:
Fungsi umum:
Tempat bersantai.
Tempat komunikasi sosial.
Tempat peralihan, tempat menunggu.
Sebagai ruang terbuka untuk mendapatkan udara segar dengan
lingkungan.
Sebagai pembatas atau jarak diantara massa bangunan
Fungsi ekologis:
Penyegaran udara.
Penyerapan air hujan. Pengendalian banjir.
Memelihara ekosistem tertentu. Pelembut arsitektur bangunan.
Menurut Harvey S. Perloff (1969) open space pada pembentukannya mempunyai
fungsi:
• Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara ke dalam bangunan terutama
bangunan tinggi di pusat kota.
• Menghadirkan kesan perspektif dan vista pada pemandangan kota (urban
scene), terutama pada kawasan padat di pusat kota.
• Menyediakan area rekreasi dengan bentuk aktifitas yang spesifik.
• Melindungi fungsi ekologis kawasan.
• Memberikan bentuk sold-void kawasan kota.
• Sebagai area cadangan bagi pengguna dimasa mendatang (cadangan area
pengembangan).
Dilihat dari fungsi ruang terbuka tersebut manfaat ruang terbuka baik secara fisik
perkotaan yang berkaitan dengan fungsi ekologi maupun secara sosial mempunyai arti penting terhadap keberlangsungan kota itu sendiri.
Dalam aspek visual, ruang terbuka dapat diolah dengan membentuk kesan keterlingkupan dan unsur bangunan disekelilingnya maupun dengan unsur natural seperti tata hijau membantu pembentukan keterlingkupan pada ruang terbuka. Keterlingkupan
dicapai pada skala perbandingan tertentu yang telah disebut pada
pembahasan elemen tata massa dan bentuk bangunan di atas. Akan tetapi
kualitas visual dari ruang terbuka menurut Alexander et al. (1977) tidak harus dicapai dengan keterlingkupan
ruang. Misalnya ketika orang merasa nyaman pada pantai yang terbuka.
Keterlingkupan menciptakan rasa aman dan lebih pribadi, pada ruang
terbuka penataan tata hijau dan street furniture maupun lanskap sangat berperan dalam menciptakan rasa tersebut.
Bentuk ruang terbuka bermacam-macam seperti telah disebutkan diatas. Pada ruang terbuka
di Indonesia, kecenderungan yang ada adalah pemanfaatan ruang terbuka
khususnya sebagai tempat berinteraksi sosial terjadi pada pola ruang
terbuka linear, dan alur sirkulasi terutama sirkulasi perkampungan
memegang peranan penting dari konsep ruang terbuka tersebut.
2.4.5 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways)
Untuk waktu yang lama perencanaan untuk pejalan kaki di dalam rancang kota terabaikan, ketika keberadaan shopping mall pada pusat kota tumbuh subur pejalan kaki menjadi faktor utama dari elemen perancangan kota. Mereka adalah suatu sistem yang nyaman sebagaimana elemen pendukung perbelanjaan dan juga tenaga hidup pada ruang perkotaan.
Sistem jalur pejalan kaki yang baik dapat mengurangi ketergantungan dengan kendaraan bermotor, meningkatkan perjalan dalam pusat kota , mempertinggi aspek lingkungan hidup dengan memperkenalkan sistem skala manusia, menciptakan kegiatan perbelanjaan dan pada akhirnya membantu perbaikan kualitas udara.
Pentingnya kegiatan pejalan kaki sebagai elemen dari perancangan kota pada saat ini muncul setelah adanya konsep New Urbanism yang
menempatakan hubungan jarak tempuh pejalan kaki dengan transit point
sebagai bentuk dasar konsep rancang kota. Walaupun konsep tersebut sudah
ada pada awal abad 20, akan tetapi permasalahan yang ada dari faktor
sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan membuat konsep tersebut
menjadi penting untuk diangkat dan dikembangkan lagi secara lebih luas. Dasar dari konsep rancang kota tersebut adalah jarak tempuh pejalan kaki orang dewasa normal selama 5 menit atau + 400m terhadap transit point yang dapat mempengaruhi elemen-elemen perkotaan contohnya adalah; peruntukan lahan tempat tinggal, ruang umum, akses baik akses pejalan kaki itu sendiri maupun kendaraan bermotor, besaran blok, aspek visual kota maupun aspek lingkungan alam yang berhubungan dengan ruang fisik kota.
Kegiatan perbelanjaan atau retail berperan sangat besat terhadap keberlangsungan pejalan kaki. Menurut Amos Rapoport (1977) : dilihat dari kecepatan rendah pejalan kaki, terdapat keuntungan karena dapat mengamati lingkungan sekitar dan mengamati obyek secara detail serta mudah menyadari lingkungan sekitar. Dari kondisi pejalan kaki tersebut keberadan fungsi retail sangat mendukung keberlangsungan pejalan kaki pada jalur pergerakannya. Secara psikologis pengalihan arah visual dalam mengamati lingkungan sekitar yang tidak monoton dan atraktif dapat menurunkan tingkat kebosanan dalam melakukan pergerakan dengan jalan kaki.
2.4.6 Pendukung Kegiatan (Activity Support)
Pendukung kegiatan merupakan suatu elemen kota yang mendukung dua atau lebih pusat kegiatan umum yang berada di kawasan pusat kota yang mempunyai konsentrasi pelayanan yang cukup besar. Keberadaannya tidak terlepas dari kegiatan- kegiatan utama pada suatu lokasi yang dapat menghubungkan kegiatan utama tersebut. Pendukung kegiatan tidak hanya bersifat horizontal pada ruang luar akan tetapi juga berada pada kegiatan vertikal pada suatu ruang dalam atau bangunan seperti peruntukan lahan campuran (mixed use).
Keberadaan pendukung kegiatan tidak terlepas pada kegiatan yang diarahkan pada bentuk keberlangsungan (continuity), bersifat hidup (livability) dan kegembiraan atau kesenangan (excitement). Bentuk-bentuk pendukung kegiatan dapat berupa elemen fisik kota seperti tata ruang luar, street furniture dan peruntukan lahan yang menunjang hubungan pada kegiatan utama kota. Dapat juga diarahkan pada kegiatan yang
berhubungan dengan bagaimana kenyamanan maupun keberlangsungan secara
psikologis dapat dicapai untuk mendukung pergerakan pada jalur
pencapaian pada dua atau lebih pusat-pusat kegiatan umum pada suatu
kota. Pada jalur pedestrian, kualitas penataan street furniture, penghijauan, pavement, signage dan tampilan dan penataan bangunan yang membingkai ruang visual pejalan kaki dan sebagainya, mempengarruhi keberlangsungan suatu kegitan pergerakan tersebut.
Elemen-elemen fisik ini merupakan salah satu bentuk dari pendukung kegiatan tersebut. Bentuk lain yang penting dari pendukung kegiatan adalah suatu kegiatan yang dapat memberikan keberlangsungan secara psikologis dan dapat menghubungkan kegiatan-kegiatan utama yang ada, kegiatan tersebut sekarang ini yang menjadi penting adalah kegiatan retail baik yang diarahkan pada fungsi kegiatan di dalam bangunan sepanjang alur pergerakan maupun pada ruang terbuka yang dapat berupa pedagang kaki lima.
Pendukung kegiatan sebagai salah satu elemen perancangan kota sangat berkaitan dengan pertumbuhan fungsi-fungsi kegiatan umum ruang kota dimana menurut Aldo Rossi (1982) kota itu sendiri terbentuk dengan adanya konsentrasi elemen-elemen fisik spasial yang selalu tumbuh dan berkembang dan karena adanya interaksi kegiatan
manusia yang terakumulasi pada satuan waktu yang tidak terbatas. Dengan
adanya pendukung kegiatan ini diharapakan mampu menciptakan ruang kota
yang hidup, berkelanjutan, dan mampu menintregrasikan dan menjadi penghubung kegiatan utama kota. Contoh kasus keberadaan pendukung kegiatan seperti di Jalan Malioboro Jogjakarta. Magnet kegiatan utama adalah pada Stasiun kereta api Tugu di ujung utara jalan dan Kompleks keraton maupun bangunan penting sekitarnya di ujung selatan jalan tersebut. Keberadaan fungsi retail pada bangunan sepanjang jalan dan keberadaan kaki lima dan juga perancangan street furniture yang kontekstual merupakan suatu bentuk pendukung kegiatan yang membuat suasana jalan Malioboro menjadi
hidup terutama faktor keberlangsungan pergerakan pajalan kaki lima pada
jalan tersebut. Dari contoh kasus tersebut, perancangan pendukung
kegiatan harus memperhatikan kontekstual lingkungan, karakteristik fisik
maupun non fisik dan hubungannya terhadap elemen-elemen leinnya terutama pejalan kaki sebagai pengguna ruang utama dan pemberi kehidupan sosial kota.
2.4.7 Tata Informasi (Signage)
Tata informasi menjadi elemen visual yang penting dalam ruang kota. Keberadaanya
mempengaruhi pengguna jalan baik pejalan kaki maupun pengendara kendaraan dengan memberikan bentuk untuk dikenali menjadi tujuan utama dari tata informasi tersebut.
Bentuk-bentuk tata informasi dapat berupa papan reklame komersial,
penunjuk jalan, tanda-tanda lalulintas atau informasi umum bagi pengguna
jalan setempat.
Kevin Lynch dalam Managing the Sense of Region (1976 hal. 30-31) menyatakan bahwa penataan informasi harus dapat dikenali (legible), teratur, mudah dibaca (readible), adanya kesinambungan antara bentuk dan pesan (congruent) dan pemasangan pada daerah yang tepata sesuai dengan isi pesan yang akan ditujukan (rooted).
Keberadaan tata informasi sangat penting terutama dengan perkembangan kondisi ekonomi suatu kota, tata informasi dapat menjadi alat untuk mempromosikan suatu produk atau menjadi tanda suatu tempat usaha untuk dapat dikenali kepada masyarakat pemakai ruang publik kota. Dengan keberadaanya tentunya secara fisik mempengaruhi ruang kota dan hubungannya dengan elemen ruang kota lainnya seperti muka bangunan, ruang pedestrian, street furniture, dsb. Halprin (1980:68) : Ada area papan-papan tanda reklame yang luas yang mengalihkan jalan-jalan kota kita menjadi sebuah kesemrawutan, tidak berakhir, kejelekan yang linear. Pengaturan papan tanda reklame maupun tanda-tanda informasi umum sudah banyak diatur sesuai dengan fungsi dan kegiatan ruang dalam berbagai panduan perancangan kota (guidelines). Pengaturan berupa ukuran dimensi, kesesuaian dengan konteks lingkungan baik bentuk, warna, pencahayaan, material atau juga dengan tema suatu daerah atau lingkungannya. Keberadaannya juga tidak menggangu fungsi lain seperti pengguna jalan atau fungsi infrastruktur kota.
Pengaruh yang ditimbulkan secara positif dari pengaturan tata informasi adalah kontinuitas visual, harmoni dengan elemen perkotaan yang lain atau juga dapat memberikan kesan skala manusia pada pengguna jalur pedestrian. Ia dapat menaungi dan
memberikan ruang kanopi pada jalur pejalan kaki. Pada pengguna
kendaraan bermotor penempatan tata informasi dapat memperlambat laju
kecepatan dengan mengalihkan sejenak perhatian pengendara.
Menurut Yoshinobu Ashihara (1983) penampilan ruang luar dipengaruhi dua hal yaitu ruang luar depan bangunan sebagai raut muka utama/primer (primary profiles) dan sesuatu yang melekat dan menonjol pada bangunan yang bersifat sementara disebut sebagai raut muka sekunder (secondary profiles). Disini signage/signboard merupakan secondary profiles.
Kualitas ruang yang dilihat oleh pejalan kaki pada kondisi dekat secara paralel dengan garis bangunan akan didominasi oleh secondary profiles dan muka bangunan tidak terlihat tetapi semakin ia bergerak jauh dari tepi jalan muka bangunan mulai memasuki jangkauan pandangan pengamat. Disini kondisi perletakan signboard tegak lurus dengan muka bangunan. Dengan adanya arah pengamatan dan keberadaan signboard, dimensi jalan juga berpengaruh. Semakin sempit jalan keberadaan signboard sebagai bagian yang menonjol keluar pada bangunan semakin mengaburkan tampak muka bangunan tersebut (façade).
2.4.8 Pelestarian (Preservation)
Preservasi tidak selalu berhubungan dengan struktur dan tempat-tempat yang memiliki arti sejarah. Di dalam pandangan yang lebih luas ia juga dapat berhubungan dengan segala struktur dan tempat-tempat eksisting baik sememtara atau permanen dalam segi ekonomi mempunyai sifat yang vital dan signifikan secara budaya. Bentuk pelestarian selain ditujukan kepada bangunan atau tempat-perkampungan atau ruang umum perkotaan (seperti plaza, alun-alun tempat perbelanjaan, dsb). Pelestarian terhadap bentuk kegiatan-kegitan ruang umum yang signifikan juga perlu diadakan.
Pelestaraian tidak anti kepada perubahan, ia tidak menganjurkan untuk membangun kembali bangunan sejarah yang telah hancur, menampilkan tema historis ke dalam bangunan baru atau menyimpan semua bangunan tua hanya untuk pelestarian tersebut. Pelestarian sejarah mengenalkan desain yang baik dari masa lampau dan menempatkan peristiwa yang luar biasa dari masa lampau yang terjadi. Ia juga memelihara lingkungan dengan karakteristik yang khusus dan menganjurkan desain baru yang bagus, apakah hal tersebut di dalam konstruksi bangunan baru atau modifikasi dari bangunan yang telah ada berkesesuaian dengan yang lama.
2.5 Contoh Pelestarian Kawasan Kota Lama
2.5.1 Kota Tua Jakarta
Pemerintah DKI Jakarta, mengembangkan kembali Kota tua Jakarta untuk menghidupkan kembali aktivitas-aktivitas komunitas yang dulu Kota tua Jakarta ini menjadi pusat perekonomian pada saat Pemerintahan Hindia-Belanda. Penyebab penurunan
kawasan Kota tua Jakarta ini diantaranya adalah bangunan tua bersejarah
yang tidak terawat, ekonomi kawasan yang menurun, jalur pedestrian yang
tidak nyaman, ruang terbuka yang belum tertata. Dari penyebab-penyebab tersebut pemerintah DKI Jakarta membuat strategi revitalisasi atau membangkitkan kembali kegiatan yang ada disana disantaranya adalah pengembangan komunitas kreatif, adaptasi
bangunan lama untuk fungsi baru dengan berbagai perubahan, penyisipan
bangunan pada lahan kosong dalam lingkungan pelestarian kota tua.Manfaat
dari semua itu membuat Kota Tua di Jakarta semakin diminati warga Kota
Jakarta pada khususnya dan wilayah sekitar jabodetabek.
2.5.2 Kota Tua Tanjong Pagar (Singapura)
Kota Tua Tanjong Pagar yang berada di Singapura dulunya merupakan perkampungan
para pelaut dan nelayan.. Awalnya kawasan Kota tua Tanjong Pagar ini
tidak terawat, lingkungannya pun tercemar oleh sampah, dan dijadikan
kawasan peredaran narkoba, lalu Pemerintah Singapura pun akhirnya
melakukan tindakan, yaitu penataan ulang zoning dan land use kawasan, pengembangan ekonomi, dan adaptasi bangunan lama untuk fungsi baru. Kebanyakan bangunan lama di tanjong pagar bernuansa eropa.
Gambar 2.1 Kota Tua Tanjong Pagar
2.5.3 Kota Tua Tianjin (China)
Kota Tianjin adalahkota terbesar ke-3 di China, Kota Tianjin pada masa dulu dikenal dengan nilai-nilai sejarah dan budaya. Letak Kota Tianjin yang dilewati sungai Hai He membuat kesan keindahan tersendiri. Bangunan-bangunan sejarah yang sudah tak terawat, membuat pemerintah Cina mengambil tindakan untuk melestarikan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Tianjin, apalagi permasalahan yang pernah terjadi adalah bangunan-bangunan tua yang tidak terawat, dan lingkungan di sepanjang tepian sungai yang belum tertata. Pemerintah Cina mencoba untuk menjadikan kawasan kota lama Tianjin sebagai kawasan tepi sungai (riverfront) sebagai
landmark kota dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesejarahan dan
budaya dari Kota Tianjin. Selain itu Pemerintah Cina juga menarik
perhatian para investor untuk mau menanamkan modalnya di kawasan ini. Kawasan kota lama Tianjin juga dirancang untuk menjadi kawasan High Technology Community yang berbasis ekologi, dengan menerapkan kawasan wisata budaya, kawasan wisata perkotaan, dan kawasan kegiatan perekonomian.
2.5.4 Kota Lama Semarang
Kota Lama menyimpan banyak sejarah Indonesia ketika dijajah oleh Belanda. Kawasan yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan kuno yang mempunyai nilai arsitektur tinggi ini sudah menjadi cagar budaya Indonesia yang patut di konservasi. Berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1992 dikemukakan yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : (dalam Bab 1 pasal 1) yaitu : (1) Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun,
serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan; (2) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Pemerintah Kota Semarang tidak berdiam diri melihat keberadaan Kawasan Kota Lama yang semakin lama semakin memperihatinkan. Pemerintah Kota Semarang telah mengeluarkan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Kota Lama. Namun, walaupun sudah terdapat Perda yang mengaturnya, kondisi kawasan Kota Lama lama masih memprihatinkan. Hal ini karena aplikasi dari Perda tersebut masih sangat minim.
Melihat kekurang itu seharusnya Pemerintah Kota Semarang harus segera merevisi
ulang
perda tersebut. Pemerintah Kota Semarang harus lebih aktif dan jelih
melihat perkembangan Kota Lama Semarang. Pemerintah Kota Semarang harus
melakukan konservasi yang terintegrasi pada Kota Lama, dan ada tujuh konsep dalam melakukan
konservasi yang terintegrasi yaitu:
1. merupakan sebuah proses bukan sebuah projek;
2. konservasi membutuhkan keseimbangan dalam pengembangan dan kebutuhan penghuni;
3. merupakan
gabungan jangka-panjang yang berkelanjutan: sosial (penghuni); ekonomi
(skala kecil perusahaan setempat); budaya (konservasi); dan ekologi (sumber daya alam-kesadaran)
4. lingkungan hidup harus ditingkatkan melalui pro-aktif dan program yang mendukung;
5. perbaikan keadaan ekonomi penghuni merupakan bagian dari pendekatan;
6. dibutuhkan partisipasi yang luas dari stakeholders termasuk komunitas setempat;
7. pengembangan projek skala besar harus dihindari.
Pemerintah kota Semarang harus menerapkan konsep-konsep ini dalam upayanya melestarikan Kota Lama. Konsep ini harus dijalankan secara aktif, berkala, dan berkelanjutan dan juga dibutuhkan peran serta dari masyarakat Semarang jika masih ingin melihat keberadaan Kota Lama.
BAB III
GAMBAR KAWASAN
3.1 Eksisting
Gambar 3.1 Bangunan Eksisting Kawasan Menteng
Keadaan
eksisting bangunan tua di kawasan Menteng masih terjaga dan dirawat
sampai saat ini, tidak ada bangunan yang dirubah wajahnya hanya
dilakukan perbaikan saja seperti bentuk semula dan dilakukan pengecatan
pada bagian bangunan yang usang. Bangunan kawasan Menteng yang masih
terlihat jelas masa lalunya dan terawat diantaranya yaitu Masjid Cut
Mutia, Gedung Joeang 45, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Gereja St.
Theresia, dan Gereja GPIB Jemaat Paulus. Bangunan ini merupakan bangunan
bersejarah dimasanya telah dibangun cukup lama dan masih terlihat
seperti mulanya sehingga bangunan ini perlu dijaga dan dirawat.
Gambar 3.2 Bangunan Eksisting Kawasan Menteng
3.2 Langgam
Bangunan-bangunan
yang berdiri di kawasan Menteng dibangun pada masa penjajahan dan
kolonialisasai Belanda dan merupakan kawasan yang dijadikan perumahan
bagi pegawai kolonial Belanda sehingga bangunan di kawasan ini dirancang
seelegan dan spesail dengan gaya yang terkenal di masanya yaitu gaya
arsitektural klasik Indis atau Hindia Klasik atau disebut juga
“Indo-Eropa” terdapat campuran budaya eropa dan indonesia.
Arsitektur
bangunannya dapat disebut berkarakter fungsionalis tahun duapuluhan
dengan variasi tropis art-deco dengan jejak-jejak neo-klasik peninggalan
abad 19. Adaptasi arsitektur lokal sangat dipengaruhi oleh iklim
tropis. Hal ini tercerminkan melalui kecenderungan penggunaan ventilasi
alamiah dan menghindari cahaya matahari langsung. Karena hal ini maka
dapat dipahami adanya rancangan ruang dengan langit-langit sangat
tinggi, volume para-para atap yang besar, lubang-lubang ventilasi serta
pintu dan jendela ganda. Material tradisional dan keterampilan lokal
juga memberi bekas melalui bentuk atap miring, konstruksi kayu dan ubin
semen berwarna. Ditambah dengan material bangunan yang didatangkan dari
luar negeri, ini menjadikannya khas arsitektur Hindia-Belanda, atau
arsitektur kolonial, atau juga indische architectuur.
Masjid Cut Mutia
Gambar 3.3 Masjid Cut Mutia
Bangunan
masjid ini tidak seperti disain masjid pada umumnya karena memang saat
pertama dibangun fungsi bangunan ini yaitu untuk kantor pada masa
pemerintahan Belanda sehingga tidak ada bentuk kubah dan tidak adanya
kaligrafi juga motif-motif islam pada masjid ini. Memiliki gaya disain
arsitektur klasik khas Belanda yang tidak terlalu menonjolkan
ukiran-ukiran klasik yunani dapat dilihat dari tembok bangunannya yang
tidak begitu ramai.
Gambar 3.4 Masjid Cut Mutia Tembok
Bangunan
ini sampai sekarang terlihat sama dari gaya arsitekturnya yang
dipertahankan hanya terdapat beberapa tambahan karena fungsinya yang
telah berubah dan bangunan dilakukan pengecatan ulang setiap beberapa
tahun sekali.
Gambar 3.5 Masjid Cut Mutia Tampak
Terdapat
penambahan kanopi pada balkon dilantai atas untuk mencegah panas
matahari dan tampias hujan. Penambahan material batu kali yang dicat
hitam pada dinding bagian bawah bangunan untuk memunculkan kesan kokoh
pada bangunan.
Gambar 3.6 Material Batu Kali
Penggunaan
kaca patri pada jendela yang sangat mmencirikan bangunan klasik di
masanya juga terdapat penambahan coakan kayu pada bingkai jendela yang
mencirikan bangunan islam.
Gambar 3.7 Material Kaca Patri
Gambar 3.8 Ukiran Islam Pada Bingkai Jendela
Gedung Joang 45
Gambar 3.9 Gedung Joang 45
Merupakan
bangunan museum yang fungsi mulanya pada saat pertama dibangun ialah
hotel, yang dikelola oleh seorang berkebangsaan Belanda. Hotel tersebut saat itu termasuk yang cukup baik dan terkenal di kawasan pinggiran Selatan Batavia, dengan bangunan utama yang berdiri megah di tengah dan diapit deretan bangunan kamar-kamar penginapan di sisi kiri dan kanannya untuk menginap para tamu.
Gambar 3.10 Ruang yang Dulunya Kamar Hotel
Bangunan
ini bergaya klasik Belanda yang dicampur dengan budaya etnik Batavia,
bisa dilihat dari penggunaan reiling dengan ornament, lisplang, juga
penopang atap yang menempel pada tiang.
Gambar 3.11 Jendela dan Pintu
Pengunaan
jendela kotak-kotak dengan teralis bunga didalamnya dan pintu kayu
klasik yang tinggi dengan lubang-lubang ventilasi disisi daun pintunya.
Gambar 3.12 Tiang Kolom dan Tiang Penopang
Bentuk
ornament melengkung yang merupakan unsure dari budaya Batavia terlihat
pada tiang penopang atap. Penggunaan tiang tinggi kolom klasik yang
merupakan symbol kekokohan dan kemegahan bangunan klasik.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Gambar 3.13 Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Gedung
ini didirikan sekitar tahun 1920 dengan arsitektur Eropa (Art Deco),
dengan luas tanah 3.914 meter persegi dan luas bangunan 1.138 meter
persegi. Pada tahun 1931, pemiliknya atas nama PT Asuransi Jiwasraya.
Ketika pecah Perang Pasifik, gedung ini dipakai British Consul General
sampai Jepang menduduki Indonesia.
Gambar 3.14 Tampak Perspektif Museum Proklamasi
Bangunan
yang dulunya merupakan rumah kediaman laksamana Maeda ini terlihat
besar dengan sedikit ornament klasik bahkan hampir tidak ada. Bangunan
ini banyak menggunakan jendela tunggal panjang dengan pola kotak-kotak
dengan kusen dicat kuning muda. Penggunaan bentuk atap trapezium untuk
menambah kesan megah.
Gambar 3.15 Tampak Depan Museum Proklamasi
Gereja St. Theresia
Gambar 3.16 Gereja St. Theresia Awal Mula
Pada tahun 1930 kota Jakarta (Batavia) diperluas dengan mengembangkan kawasan Menteng dan Gondangdia. Umat Katolik yang mendiami kedua kawasan tersebut harus berjalan kaki cukup jauh bila akan mengikuti misa di gereja Katedral. Pengurus Gereja Katedral lalu mencari lahan sampai akhirnya ditemukan sebidang tanah di Jl. Soendaweg (sekarang Jl. Gereja Theresia) untuk dibangun gereja |
Gambar 3.17 Gereja St. Theresia Saat Ini
Gereja
Theresia mempunyai 3 pintu, diatas setiap pintu terdapat jendela besar.
Jendela besar diatas pintu utama menggambarkan St.Theresia, sedang yang
diataspintu samping menggambarkan St.Ignatius de Loyola (pendiri
Serikat Jesus) dan St. Fransiscus Xaverius (pelindung Misi). Dibelakang
altar pun terdapat jendela yang ukurannya lebih kecil dari
jendela-jendela yang disebutkan diatas, jendela-jendela ini berjumlah 13
dimana yang ditengah menggambarkan Yesus dan kanan kirinya
menggambarkan keduabelas Rasul.
Gereja GPIB Jemaat Paulus
Gambar 3.18 Gereja GPIB Jemaat Paulus
|
Bangunan
gereja ini menggunakan material atap sirap dengan bentuk atap
trapezium. Merupakan bangunan tua yang telah direnovasi seperti bangunan
semula agar nilai historisnya tetap terjaga dan tidak hilang.
Gambar 3.19 Menara Gereja GPIB Jemaat Paulus
|
BAB
IV
SOLUSI
DESAIN
4.1 INDIKASI
KONSEP DESAIN
Berdasarkan
arahan RTBL maka pada pekerjaan Desain kawasan menteng ini akan melanjutkan
beberapa hal penting dan memilih spot-spot kawasan dimana yang akan menjadi
prioritas penanganan pada pembangunan tahap pertama, dan kemudian pembangunan
pada tahap-tahap selanjutnya.
4.1.1 Konsep Desain Tata Guna Masa Bangunan
Skenario Konsep
Desain Tata Masa Bangunan Berdasarkan Pemanfaatan dan pengembangan bangunan
konservasi, diarahkan kepada pengembangan Wisata Budaya, Wisata Agro, yang
berpedoman kepada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Fungsi Bangunan
Konservasi di kawasan Menteng, yang terdiri dari :
1. Masjid
Cut Mutia
2. Gedung
Djoang 45
3. museum
perumusan naskah proklamasi
4. gereja
GPIB Jemaat Paulus
5. dewan
harapan nasional 45, adalah :
·
Sebagai sarana informasi
·
Sarana penelitian dan pengembangan
·
Sarana Peribadatan.
·
Sarana edukatif dan rekreasi
·
Sarana pariwisata
4.1.2 Konsep Zonasi Kawasan
Zonasi
dijabarkan ke dalam dua pemikiran kerangka besar , yaitu : Lingkungan Alam atau
Zona Dinamis Dan Lingkungan Buatan atau Zona Statis.
Zona Dinamis terdiri dari zona
Penyangga dan zona pengembangan
Zona Statis terdiri dari zona inti
·
Zona
Inti
Zona Inti merupakan
kawasan yang termasuk dalam zona statis. Dimana pada kawasan ini dan kawasan
yang di preservasi kawasan cagar budaya. Pada kawasan ini diperlukan suatu tata
lingkungan sebagai daya dukung kawasan inti.
·
Zona
Penyangga
Zona penyangga
merupakan kawasan yang termasuk dalam zona Dinamis. Dimana pada kawasan ini
merupakan kawasan untuk mencover kawasan inti. Kawasan ini perlu penataan
bangunan dan lingkungan permukiman sebagai sirkulasi acces ke kawasan Setu
Babakan
·
Zona
Pengembangan
Zona pengembangan
merupakan kawasan yang akan dikembangkan sebagai kawasan yang dapat menampung
kebutuhan dari sarana dan prasarana. Maka kawasan pengembangan ini perlu di
perhatikan karena kawasan ini nantinya juga sebagai kawasan wisata bagi
masyarakat yang memerlukannya.
4.1.2.1 Zona Inti
Struktur
ruang pada kawasan inti
Struktur ruang
pada kawasan inti Menteng (Jakarta Pusat) merupakan kawasan yang memiliki daya tarik bagi pengunjung
wisatawan, dan Konsep yang akan ditampilkan pada Kawasan Setu Babakan yang memiliki
ciri khas budaya Bangunan Kholonoial Belanda.
Lokasi zona inti
solusi desain 1 (Masjid Cut Mutia) diperuntukkan : sarana parker kendaraan (motor, mobil
pribadi), penataan PKL, kantin-kantin, toilet, pos keamanan.
zona inti solusi
desain 2 (Gedung Djoang 45) diperuntukan
: parkir kendaraan (mobil
pribadi, motor dan juga bis), pondok makanan
tradisional, kios cinderamata,
toilet dan pos keamanan.
zona inti solusi
desain 3 (Museum Perumusan Naskah Proklamasi) diperuntukkan : sarana parker kendaraan (motor, mobil
pribadi), toko cendramata.
Lokasi zona inti
solusi desain 4 (Gereja GPIB Jemaat Paulus) diperuntukan :
parkir kendaraan (mobil pribadi, motor), Toko Buku rohani.
zona inti solusi
desain 5 (Dewan Harapan Nasional 45) diperuntukan :
parkir kendaraan (mobil pribadi, motor dan juga bis), pondok
makanan tradisional, kios cinderamata, toilet dan pos keamanan.
4.1.3
. Konsep Sirkulasi Kendaraan Dan Pedestrian
Areal zona inti
solusi desain 1(Masjid Cut Mutia)
Merupakan pengembangan
yang berada di lokasi sekitar Masjid cocok untuk areal parkir dan pengembangan
lokasi PKL dan fasilitas lainnya.Namun harus dikonfirmasi dahulu untuk
dijadikan kawasan pengembangan dan Perlu penataan yang menyeluruh terhadap
kawasan tersebut, meliputi perencanaan parkir dan areal PKL, service area
seperti kantin, toilet umum, dan lain-lainnya. dan pedestrian harus dibuat dari
bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.
Areal zona inti
solusi desain 2 (Gedung Djoang 45)
Merupakan lokasi
pengembangan yang berada di lahan kosong milik penduduk yang sekarang ini
kondisi tak terawat. Pada lokasi ini baik direncanakan sarana dan
prasarana PKL, ruang terbuka/plaza, areal parkir, area service, dan kios
cendramata. Namun permasalahannya adalah lahan ini milik penduduk setempat, dan
tidak di ketahui pemilik aslinya. Jalan, gang, dan pedestrian harus dibuat dari
bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.
Areal zona inti
solusi desain 3(Museum Peumusan Naskah Proklamasi)
Merupakan pengembangan
yang berada di lokasi sekitar museum yang cocok untuk areal parkir dan pengembangan
lokasi PKL dan fasilitas lainnya.Namun harus dikonfirmasi dahulu untuk
dijadikan kawasan pengembangan dan Perlu penataan yang menyeluruh terhadap
kawasan tersebut, meliputi perencanaan parkir dan areal PKL, service area
seperti kantin, toilet umum, dan took cendramata. dan pedestrian harus dibuat
dari bahan yang materialnya menyerap air, seperti conblok.
Areal zona inti
solusi desain 4 (Gereja GPIB Jemaat Paulus)
Merupakan lokasi
pengembangan yang berada disekitar Gereja yang cocok untuk daerah pengembangan
Pada lokasi ini baik direncanakan sarana areal parkir, area service, dan kios
cendramata, dan took buku rohani, dan pedestrian harus dibuat dari bahan yang
materialnya menyerap air, seperti conblok.
Areal zona inti
solusi desain 5 (Dewan Harapan Nasional 45)
Merupakan lokasi
pengembangan yang berada di sekitar bangunan, Pada lokasi ini baik direncanakan
sarana dan prasarana PKL, ruang
terbuka/plaza, areal parkir, area service,
dan kios cendramata. Jalan, gang, dan pedestrian harus dibuat dari bahan yang
materialnya menyerap air, seperti conblok.
4.2.1 Desain Kawasan
Inti
Suatu areal kawasan
akan terlihat dapat di berikan solusi desain, jika suatu kawasan tersebut
memiliki suatu gambarantampak sebelumnya (before), agar sesuai gagasan inti
dari solusi yang dapat di berikan nanti (After).
4.2.1.1 Kawasan Sebelum Penataan
1.
Masjid Cut Mutia
Gambar
4.1 Kawasan sebelum penataan lahan parkir
(Sumber: Hasil survey, 2013)
Gambar 4.2 Kawasan sebelum penataan
lahan bangunan
(Sumber:
Hasil survey, 2013)
Gambar
4.3 Kawasan sesudah penataan lahan parkir
Gambar
4.4 Kawasan sesudah penataan lahan bangunan
2.
Gedung Djoang 45
Gambar 4.5 Kawasan sebelum penataan
lahan parkir
(Sumber:
Hasil survey, 2013)
Gambar
4.6 Kawasan sebelum penataan tempat cinderamata
(Sumber: Hasil survey, 2013)
Gambar 4.7 Kawasan sesudah penataan
lahan parkir
Gambar 4.8 Kawasan sesudah penataan
tempat cendramata
3.
Museum perumusan
naskah proklamasi
Gambar 4.9 Kawasan sebelum penataan
tempat parkir
Gambar 4.9 Kawasan sesudah penataan tempat parkir
4.
Gereja GPIB
Jemaat Paulus
Gambar 4.11 Kawasan sebelum penataan
tempat parkir
Gambar 4.12 Kawasan sesudah penataan tempat parkir
Gambar
4.13 Kawasan sesudah penataan tempat parker sepeda & motor